Opini

Perkara Naratif Sejarah Imam Sya’ban*

ilm arahan Eldiansyah Ancha Latief itu menampilkan empat narasumber. Dua di antaranya akademisi, sementara sisanya budayawan lokal. Meski berbeda latar belakang, secara garis besar, mereka bercerita tentang satu hal yang sama: temuan-temuan di Kabupaten Banggai Kepulauan yang mengarah pada sejarah Islam di Provinsi Sulawesi Tengah yang diklaim jauh lebih tua dari yang umum diketahui oleh masyarakat.

Biasanya, masyarakat akan menyinggung nama Datokarama ketika berdiskusi tentang awal kedatangan Islam di provinsi ini. Walau waktu kedatangannya terbuka untuk kita perdebatkan, Datokarama disebut berasal dari Minangkabau dan tiba di Sulawesi Tengah pada awal abad ketujuh belas.

Syahdan, belakangan ini, warga di Sulawesi Tengah disuguhi narasi sejarah yang terpaut jauh sebelum Datokarama. Jauh lebih tua. Itulah yang dapat kita temukan lewat film Imam Sya’ban. Nama yang juga dijadikan judul film tadi disebut sudah tiba, menyebarkan Islam, dan wafat di Banggai Kepulauan pada abad kedua Hijriah. Berjarak delapan ratus tahun lebih dari Datokarama.

Pemerhati sejarah dan peradaban Islam sudah pasti tercengang oleh klaim tentang Imam Sya’ban tadi. Bayangkan saja, ketika buku-buku sejarah menyebut bahwa peradaban Islam masih berada pada fase formatif di Jazirah Arab, Imam Sya’ban telah wafat di Banggai Kepulauan pada 168 Hijriah atau 785 Masehi. Padahal, di kisaran tahun tersebut, Dinasti Abbasiyah baru berkuasa di Bagdad. Di saat yang sama, Imam al-Syafi’i, pencetus mazhab Syafi’iyyah, baru berusia 18 tahun. Imam al-Bukhari, penyusun kitab kompilasi hadis-hadis paling sahih, bahkan belum lahir. Lalu siapa sejatinya sosok Imam Sya’ban yang sudah berkelana hingga ke Banggai Kepulauan?

Sayangnya, belum ada informasi lebih jauh yang menjelaskan profil Imam Sya’ban serta bagaimana perannya dalam proses islamisasi setempat. Para narasumber di dalam film Imam Sya’ban tidak mengutip satupun teks-teks tarikh dari abad-abad awal Islam. Kisah sejarah Imam Sya’ban yang disuguhkan kepada kita hanya bersumber dari angka pada nisan yang diberi bumbu tradisi lisan. Segera, kita akan mendiskusikan sumber tersebut.

Angka Tahun Nisan

Nisan Imam Sya’ban sejatinya tidak sekedar memuat angka-angka Arab. Ada keterangan berbahasa Melayu yang ditulis dalam aksara Arab dengan pola tak beraturan. Oleh para ahli filologi, jenis tulisan itu disebut Jawi Script. Sesuai konteksnya, sumber-sumber Arab dari Abad Pertengahan menyebut Kepulauan Nusantara dengan Jawi. Mereka, para ahli itu, juga sepakat bahwa jenis tulisan ini populer di Kepulauan Nusantara pada 702 Hijriah berdasarkan Prasasti Terengganu.

Tarikh168 Hijriah yang diklaim sebagai waktu wafat Imam Sya’ban jelas bertolak belakang dengan sejarah jenis tulisan yang digunakan pada nisannya. Selain fakta itu, masih ada fakta lain yang turut memperlihatkan kontradiksi. Fakta yang dimaksud adalah himbauan agar peziarah membacakan doa tahlil.

Dalam sejarah tradisi Islam, pembacaan doa tahlil tercipta pada abad kedua belas Hijriah berkat inisiatif dua ulama sufi, yakni Sayyid ‘Abdullah bin ‘Alawi al-Haddad (w. 1132 H./1720 M.) dan Sayyid Ja’far al-Barzanji (w. 1177 H./1776 M.). Bila Imam Sya’ban disebut wafat pada abad kedua Hijriah, bagaimana mungkin kata tahlil bisa tertulis pada nisannya?

Pendukung narasi tentang Imam Sya’ban yang wafat di abad kedua Hijriah bisa saja berkelit dengan dalih bahwa yang bersangkutan lebih dulu meninggal sementara nisannya ditulis belakangan. Hanya saja, bila diperhatikan dengan seksama, angka-angka pada nisan tersebut sesungguhnya bukan 168 melainkan 1268. Konversi ke dalam sistem kalender Gregorian menunjukkan 1268 Hijriah setara 1852 Masehi. Dengan demikian, Imam Sya’ban sejatinya wafat pada abad ketiga belas Hijriah atau sembilan belas Masehi.

Menjadi yang Utama

idak dapat dipungkiri, temuan arkeologi menunjukkan bahwa daerah Barus di Provinsi Sumatera Utara telah terhubung dengan Jazirah Arab sebelum kehadiran Islam. Pada waktu itu, kamper atau kapur barus merupakan komoditas internasional berkat salah satu fungsinya sebagai bahan pengawet jenazah.

Sejalan dengan itu, bisa dipahami jika Hamka menafsirkan maksud kata kafura (al-Qur’an surat al-Insan ayat kelima) dengan bahan kamper yang berasal dari Barus.

Hanya saja, temuan Islam di Barus tidak otomatis berarti kita boleh menyatakan bahwa daerah lain di Kepulauan Nusantara, seperti Banggai Kepulauan, telah bersentuhan dengan Islam pada interval waktu yang sama atau berdekatan. Ada dimensi kepatuhan metodologi serta moralitas akademik yang perlu dipegang sebelum suatu naratif sejarah diumumkan ke publik.

Sejak Charles Darwin menerbitkan The Origin of Species pada 1859, banyak pihak yang ikut-ikutan terobsesi pada penelitian tentang asal-usul. Belakangan, Edward Said mencemooh model penelitian tersebut karena sarat dengan agenda orientalisme yang berjalan seiring dengan kolonialisme. Salah satu agenda orientalisme adalah mencari pembenaran bagi klaim keunggulan terhadap pihak yang lain berdasarkan asal-usul.

Sadar akan agenda di balik orientalisme, kini para pengkaji Islam meninggalkan diskusi asal-usul. Yang amat disayangkan, diskusi tentang Islam di Sulawesi Tengah justru belum beranjak dari model berpikir warisan kolonial tadi, di mana hal ini jelas terlihat lewat suara-suara tentang sejarah Imam Sya’ban.

Tidak ada argumentasi ilmiah untuk terus terpaku pada isu asal-usul, terlebih jika itu dilatarbelakangi oleh obsesi demi meraih klaim keunggulan diri ketimbang yang lain. Toh, doktrin Islam jelas mengajarkan: menjadi yang utama lebih penting ketimbang yang pertama.

Esai ini merupakan apresiasi terhadap film Imam Sya’ban yang berdurasi 18 menit. Film tersebut diproduksi oleh Dinas Kebudayaan Provinsi Sulawesi Tengah dan Halaman Belakang Films tahun 2023 di bawah arahan sutradara Eldiansyah Ancha Latief.

*Versi asli tulisan ini terbit di situs web Harian Mercusuar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button