Siapapun yang mengikuti berita tentang perang antara Rusia dan Ukraina niscaya mafhum bahwa alasan Presiden Rusia, Vladimir Putin, menginvasi Ukraina adalah untuk menghalau Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mendekati garis batas negaranya.
Sejak invasi dimulai pada akhir Februari 2022, kini tidak ada hari tanpa berita tentang Putin. Beragam komentar muncul ke permukaan. Begitu juga dengan pertanyaan yang berangkat dari rasa penasaran. Beberapa orang merasa perlu menggali lebih jauh, apa filsafat politik yang mewakili karakter kepemimpinan Putin sehingga ia begitu memusuhi NATO.
Dalam wawancara dengan jurnalis, John Daniszewski, pada 2013, Putin dengan gamblang menyebut dirinya sebagai seorang pragmatis dengan visi konservatif. Dalam pemahamannya, konservatif tidak berarti stagnasi, melainkan pertimbangan yang disandarkan pada nilai-nilai tradisional. Sedangkan pragmatis tampak pada orientasi pada kemajuan. Dengan kata lain, pragmatisme dan konservativisme Putin berkerja dengan cara menyasar kemajuan dengan pertimbangan tradisi setempat.
Tidak diragukan lagi, Putin adalah seorang konservatif tulen. Ia sangat memuja sejarah dan kebudayaan Rusia. Oksana Drozdova dan Paul Robinson dengan gamblang menggambarkan karakter Putin tersebut lewat artikel bertajuk A Study of Vladimir Putin’s Rhetoric. Ratusan naskah pidato dan hasil wawancara Putin sejak 1999-2006 lantas mereka bedah dengan memanfaatkan teori Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis) dari Norman Fairclough dan Ruth Wodak.
Mengingat panjang masa jabatan tersebut, pemaparan tentang karakter kepemimpinan Putin disusun sesuai kronologi sejarah serta dirangkum dalam empat bagian: sejarah dan budaya, negara dan sistem politik, ekonomi, dan kebijakan luar negeri.
Drozdova dan Robinson menampilkan pragmatisme dan konservatifisme Putin di tiap bagian. Dalam masalah kebijakan luar negeri, misalnya, pidato dan wawancara Putin memperlihatkan bahwa stabilitas politik dan ekonomi dalam negeri Rusia merupakan prioritas utama dari pemimpin negeri yang memproduksi serial kartun Masha and The Bear tersebut.
Selain mengontol media dan mengarahkan produksi teks-teks sejarah agar sesuai dengan kepentingan negara, masih dalam konteks stabilitas internal, Putin beranggapan bahwa negara-negara di sekitar Rusia harus dikondisikan agar ikut menciptakan situasi yang mendukung keseimbangan di dalam negerinya.
Dalam beberapa kesempatan, Putin juga menegaskan posisi Rusia sebagai negara dengan kedaulatan penuh serta tidak terikat pada blok-blok internasional. Di saat yang sama, ia memproklamirkan tujuan negaranya untuk menciptakan tatanan dunia multipolar.
Putin tidak segan-segan menuding Amerika Serikat dan NATO sebagai blok yang senantiasa ingin mempertahankan hegemoni terhadap negara lain. Selama bertahun-tahun, di dalam pidatonya, Putin tegas menyoroti ekspansi organisasi militer tersebut sebagai ancaman.
Tidak mengherankan, ketika Ukraina ingin bergabung dengan NATO, Putin memilih patuh pada adagium bahwa pertahanan terbaik adalah menyerang. Uraaa!
Kereenn Tulisanya pak..
Terima kasih, Jihad.