"I Love Ternate" di Pantai Falajawa, Kota Ternate (Doc Pribadi)

“Tidak ada yang jauh di Ternate.”

Itulah jawaban orang-orang di Kota Ternate ketika saya menanyakan jarak dari satu tempat ke tempat lainnya.

Bagi seorang yang sedang meniti jalan menuju kualifikasi historian by training, sulit bagi saya menolak undangan ke ibukota Provinsi Maluku Utara tersebut. Saya tahu pasti, Kota Ternate sarat dengan sejarah perjumpaan: suatu perspektif yang dipopularkan oleh Denys Lombard lewat narasinya tentang masa lalu Jawa sebagai titik temu beragam kebudayaan.

Salah satu titik perjumpaan yang terbesar di luar Pulau Jawa, setidaknya bagi saya, adalah Ternate. Oleh sebab itu setiba di kota ini, meski masih lelah setelah melewati penerbangan lebih dari 4 jam, saya tetap bersemangat.

Pukul 10 malam, saya memutuskan untuk berjalan kaki dari penginapan menuju Fort Oranje. Jika Anda ingin menikmati suatu daerah, cobalah dengan berjalan kaki. Selain sehat, bagian-bagian kecil dapat terrekam dalam ingatan dengan baik.

Saya terkesan pada banyak hal di dalam pernjalanan itu. Misalnya, Kota Ternate cukup bersih dan rapi untuk ukuran kota-kota di bagian Timur Indonesia. Dengan kata lain, kota ini ramah bagi pejalan kaki di malam hari.

Benteng Oranje di Kota Ternate (Doc. Pribadi)

Ojek

Andai ada hal yang cukup mengganggu perjalanan saya, maka itu adalah tukang ojek. Entah berapa banyak pengendara motor yang mendekati saya, berjalan pelan sambil membunyikan klakson. “Ojek?”

Urusan ojek di Ternate memang aneh. Meski aplikasi ride hailing sudah tersedia, ojek non-aplikasi tak terbendung. Saking banyaknya, saya menduga, siapapun yang mengendarai motor di Kota Ternate dapat dengan seketika berubah menjadi tukang ojek.

Ketika sampai di Pantai Falajawa, saya harus mengkonfirmasi kisah salah seorang kolega yang lebih dulu mengunjungi Ternate. Kota ini terjaga hingga dini hari. Jalanan masih ramai untuk waktu menjelang pukul 23.00. Pemandangan ini terus saya jumpai dalam perjalanan menyusuri jalanan di tepi pantai, melewati Jatiland Mall, belok ke kiri, melewati terminal, menuju Fort Oranje.

Sepak Bola

Ketika sampai di tujuan, saya disajikan kenyataan yang mengejutkan. Sebuah layar LED berukuran raksasa, yang biasa digunakan sebagai papan reklame, menampilkan pertandingan sepak bola antara Korea Selatan versus Ghana. Layar besar itu berada di sudut kiri bagian depan Fort Oranje. Ratusan orang lesehan sambil menonton pertandingan tersebut. Tak terhitung berapa banyak pedagang kaki lima yang mengais rezeki di tengah pesta Piala Dunia di kota yang jauh dari pengetahuan penduduk Qatar.

Berhubung saya adalah pendukung Tim Tango, alih-alih bergabung di tengah para penonton, saya memilih untuk menikmati cara orang Ternate merayakan sepak bola. Ketika saya sedang menyimak kemeriahan mereka, mata saya menangkap pemandangan di luar kelaziman: tidak sedikit anak muda, beberapa di antara mereka berpasangan, menonton siaran langsung dari atas tembok Fort Oranje.

Saya bertanya dalam hati, “Bagaimana mereka bisa sampai di atas sana? Apakah ada tangga dari luar? Atau, mereka nekat memanjat tembok benteng?”

Warga Ternate menonton sepak bola di depan Benteng Oranje. Tidak sedikit di antara mereka menonton dari atas tembok benteng (Doc. Pribadi)

Benteng Oranje

Masih dengan pertanyaan yang menggantung, saya meneruskan langkah menyusuri bagian depan benteng hingga terdiam pada satu titik. Pintu gerbang Fort Oranje masih terbuka. Jelang dini hari. Saya sulit memahami apa alasan pengelola sebuah situs sejarah memberikan akses kepada pengunjung hingga larut malam.

Sebuah motor melewati saya yang masih tak habis pikir. Motor itu masuk ke dalam benteng, melewati gerbang tadi. Pada titik ini, apapun alasannya, peduli setan. Tanpa berpikir lama, saya melangkah ke arah pintu yang sama.

Seperti Ternate, Fort Oranje adalah simbol perjumpaan di masa lalu. Ia adalah saksi tentang perjumpaan disertai perlombaan tiga kekuatan kolonial di abad keenam belas dan tujuh belas. Tentu saja, perjumpaan ini tidak lepas dari keputusan Paus Alexander VI yang menandatangani Pakta Tordesillas pada akhir abad kelima belas.

Melewati pintu masuk, saya disuguhi secuil narasi sejarah Fort Oranje. Portugis adalah bangsa yang pertama kali tiba di Ternate pada paruh pertama abad keenam belas. Atas izin Sultan Ternate, mereka mendirikan Benteng Malayo. Benteng ini kemudian berpindah tangan kepada Spanyol. Hanya saja, tidak sekedar mengambil alih benteng, Spanyol ikut mendeportasi Sultan Ternate ke Manila.

Pada 1607, Laksamana Cornelis Matelief de Jonge membantu Sultan untuk mengusir Spanyol. Sebagai imbalannya, Sultan memberikan Benteng Malayo kepada VOC. Paul van Carden lantas mengganti nama benteng tersebut menjadi Fort Oranje dua tahun berikutnya.

Pada 17 Februari 1613, Dewan Komisaris VOC (Heeren XVII) yang berkedudukan di Belanda mengeluarkan surat keputusan. Fort Oranje ditetapkan sebagai Kantor Pusat VOC di Asia. Status ini terus berlanjut hingga Jan Pieterszoon Coen memindahkan urusan administrasi ke Batavia (saat ini: Jakarta) pada 1619.

Demikianlah secuil masa lalu tentang peran sentral Ternate dan Fort Oranje. Bagaimanapun, dan sekali lagi, kota dan benteng itu merupakan saksi bisu bagi perjumpaan, berikut pasang-surut dinamikanya, antara tiga kekuatan besar Eropa yang saling berlomba untuk mendapatkan sumber keuntungan dagang di atas teritori Kesultanan Ternate.

Gerbang Fort Oranje di malam hari (Doc. Pribadi)

Lelah menyusuri bagian depan lalu naik melalui tangga oval ke bagian atas tembok benteng, saya akhirnya memutuskan kembali ke penginapan di kawasan Kampung Pisang.

Dalam perjalanan, saya berandai-andai. Ya, andai saja Fort Oranje dirawat dengan baik, dibumbui narasi, dan “dijual” sebagai salah satu destinasi wisata kelas dunia, boleh jadi akan lebih banyak turis yang berkunjung ke Ternate.

Serta-merta ingatan saya terbang ke Benteng Vredeburg di Yogyakarta. Benteng itu jauh lebih muda dengan peran tidak sesignifikan Fort Oranje. Meski begitu, Benteng Vredeburg berhasil disulap oleh pemerintah sebagai salah satu magnet bagi wisatawan.

Lamunan saya dibuyarkan oleh gerombolan anak muda bermotor. Mereka mengibarkan bendera Brazil. Penginapan saya sudah dekat.

Belakangan, salah seorang pemerhati sejarah setempat memberitahu saya bahwa Pulau Ternate, dengan garis lingkar pantai sepanjang 42 kilometer, memiliki lebih dari sepuluh benteng. Fort Oranje hanyalah satu di antaranya. Masih ada yang tidak kalah menarik. Namanya Benteng Kastela.

Jauh di lubuk hati, saya akan kembali ke Ternate. Tabik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here