Tragedi 11 September 2011 di Amerika Serikat kerap mempengaruhi cara media-media Barat menggambarkan komunitas Muslim di berbagai negara. Sejak tragedi itu, kata “Islam” nyaris selalu disinonimkan dengan “terorisme”. Persepsi yang demikian ikut berimbas pada umat Islam di Argentina. Citra Muslim di negeri Lionel Messi kerap dinarasikan dengan kesimpulan yang salah dan bias.
Fatima Rajina tidak tinggal diam dengan kesalahan itu. Akademisi dari De Montfort University tersebut melakukan analisis kritis terhadap konsep dan konstruksi identitas di tengah masyarakat Muslim Argentina. Dengan cara ini, ia ingin mendekonstruksi bias-bias yang ada melalui penelusuran sejarah kedatangan imigran Muslim serta paparan tentang kejadian-kejadian yang mendorong kemunculan Muslim di ruang publik Argentina.
Tiga Fase Kedatangan Imigran Arab di Argentina
Gelombang migrasi orang-orang Arab ke Benua Amerika pertama kali terjadi pada 1860-an. Para imigran ini lazimnya berasal dari wilayah yang, pada waktu itu, dikenal dengan sebutan Syiria Besar (Greater Syiria). Hari ini, wilayah tadi terdiri dari Syiria, Lebanon, Palestina, Israel, dan sebagian Yordania.
Karena mereka datang dengan paspor Imperium Usmani, orang-orang Argentina menyebut para imigran Arab dengan turco. Dalam bahasa Spanyol, penggunaan kata “turk” tidak terbatas pada orang-orang Arab Muslim, tetapi mencakup Kristen dan Yahudi. Sampai di sini, tidak ada alasan untuk percaya pada mitos populer bahwa orang Arab sama dengan Muslim.
Patut digarisbawahi, orang-orang Arab yang bermigrasi pada fase pertama di atas pada umumnya beragama Kristen. Oleh sebab itu, sampai hari ini, mayoritas diaspora Arab yang bermukim di Argentina adalah pemeluk Kristen.
Orang-orang Arab yang beragama Islam datang ke Argentina pada fase kedua, tepatnya pada awal abad kedua puluh. Kemunduran Imperium Usmani merupakan faktor pendorong eksodus mereka. Berdasarkan catatan konsulat jenderal Imperium Usmani di Buenos Aires, lebih dari 40 persen imigran Muslim datang dari Syiria Besar dan mendirikan komunitas di Ibukota Argentina tersebut pada 1910.
Gelombang migrasi Arab Muslim ke Argentina terus berlanjut hingga memasuki fase ketiga (1931-1950-an). Selama periode ini, kebanyakan imigran berasal dari Palestina. Hari ini, Muslim yang berasal dari imigran Arab yang bermukim di Argentina diperkirakan berjumlah antara 650.000 hingga 700.000 jiwa. Mereka pada umumnya tinggal di Buenos Aires dan daerah-daerah di sekitarnya.
Komunitas Muslim di Argentina semakin mengukuhkan kehadirannya pada tahun 2000. Atas bantuan pemimpin Arab Saudi pada waktu itu, Raja Fahd, mereka mendirikan masjid terbesar di Amerika Latin. Masjid ini didirikan di Palermo, salah satu pusat kunjungan para turis di Buenos Aires, dan diberi nama Masjid Palermo (Mezquita Palermo).

Islam di Argentina
Masyarakat Muslim di Argentina memiliki ciri khas yang membedakan mereka dengan komunitas yang sama di negara lain. Budaya Argentina yang terbuka terhadap para imigran memberikan kemungkinan bagi para pendatang yang, meski berbeda agama, terintegrasi baik dengan kebudayaan setempat. Sejak abad kesembilan belas, kampanye keterbukaan terhadap para imigran didengungkan secara sistematis. Mereka percaya bahwa para pendatang dapat mempercepat proses peradaban di Argentina.
Keterbukaan masyarakat lokal Argentina, pada kelanjutannya, ikut membantu cara para imigran mendefinisikan identitas mereka. Seperti yang ditulis oleh Fatima Rajina dalam artikelnya, Islam in Argentina, para pendatang Muslim di negara tersebut kerap menyebut diri mereka, “Seorang yang beridentitas islami dengan karakteristik-karakteristik Argentina.”
Kemampuan para imigran Muslim di Argentina untuk berasimilasi dengan kultur setempat tampak sangat kuat pada profil Carlos Saúl Menem. Terpilih sebagai Presiden Argentina pada 1989, Menem merupakan keturunan Syiria. Ia lahir dan tumbuh sebagai seorang Muslim, namun mengkonversi keyakinannya ke agama Kristen demi karir politik.
Meski berpindah keyakinan, istri dan putra Menem tetap memeluk Islam. Ketika putranya wafat akibat kecelakaan, ia dimakamkan dengan upacara sesuai ajaran Islam. Prosesi ini disiarkan secara langsung dan menjadi panggung utama yang, untuk pertama kalinya, memperkenalkan ritual Islam kepada jutaan penduduk di Argentina.
Proses asimilasi, akulturasi, dan integrasi para diaspora Arab-Muslim ke dalam lingkungan sosial dan budaya Argentina tentu tidak selalu berjalan mulus. Beberapa kasus, seperti peledakan terhadap Kedutaan Israel di Buenos Aires pada 1992, sempat mempengaruhi proses-proses tersebut. Beruntung, kasus seperti itu tidak sampai berdampak signifikan terhadap sesama mereka maupun dengan otoritas setempat.
Seperti yang digambarkan oleh Rajina, komunitas Muslim di Argentina dapat terintegrasi dengan sesama imigran. Parayaan Idul Fitri dan Idul Adha, umpamanya, tidak ditempatkan secara eksklusif. Alih-alih hanya diperuntukkan bagi umat Islam, kedua hari bersar itu dirayakan oleh seluruh komunitas Arab, termasuk Kristen dan Yahudi.
Tidak seperti perlakukan negara-negara Eropa, di mana Muslim sebagai minoritas harus memperjuangkan keadilan dan hak-hak mereka, pemerintah Argentina justu memberikan keleluasaan dan ruang berekspresi bagi umat Islam. Perempuan Muslim tidak dilarang menggunakan hijab di ruang publik. Di saat yang sama, pemerintah mengizinkan mereka untuk menempelkan foto berhijab pada kartu tanda pengenal.