Tulisan di bawah ini milik Majalah Basis Nomor 05-06, Tahun ke-62, 2013. Karena saya menganggap tulisan ini menarik, saya mengetiknya kembali dan mempublikasikannya melalui blog ini. Semoga bermanfaat.
Pierre Bayard mengawali bukunya dengan humor: teramat mungkin kita berdiskusi secara mendalam bertitik tolak dari buku yang tidak pernah dibaca, terutama, saat mendiskusikannya dengan orang yang tidak membacanya pula. Sentilan guyon ini menjadi serius karena beberapa wartawan Prancis menyalahpahami, Pierre Bayard sedang berkampanye supaya orang tidak membaca buku.
Buat apa membaca, toh kita bisa berdiskusi secara mendalam tanpa harus membaca buku? Bagi para wartawan, ide ini berbahaya mengingat kondisi anak-anak muda Prancis yang makin malas membaca.
Tentu bukan itu yang dimaksud Pierre Bayard. Secara humoris, sebenarnya, ia menyinggung praktik sok serius para mahasiswa, penulis dan kaum intelektual yang sering merujuk buku ini itu ketika berwacana padahal mereka tidak pernah membacanya sendiri. Pierre Bayard (1954), mengajar di Université Paris-VIII. Bukunya, Comment Parler des livres que l’on n’a pas lu? (ed. De Minut, 2007) menjadi best seller di Prancis, terjual 43.300 eksemplar.
Pekerjaan sebagai intelektual, menulis, dan mengajar, mau tidak mau membuat kita sering merujuk buku-buku karya pengarang terkenal yang menjadi bahan ajaran. Sehari-hari, tanpa ragu-ragu kita juga gampang berujar, Menurut Kitab Suci …., atau menulis tanpa rasa bersalah, Dalam Pemikiran Platon …, meskipun barangkali kita tidak pernah khatam membaca Kitab Suci dan tidak pernah melihat wujud salah satu buku tulisan Platon.
Apakah berbicara tentang buku A atau pengarang B tanpa pernah benar-benar membacanya merupakan snobisme (sok-sokan)? Gejala orang malas tetapi rajin sok pinter? Intelektual yang dangkal dan tidak bertanggung jawab? Problemnya lebih dalam lagi ternyata. Umberto Eco sendiri (dalam wawancara dengan Pierre Bayard yang dioraganisir oleh Paul Holdingräber di The New York Public Library, www.nypl.org/live) menyatakan bahwa memang ada banyak buku yang tidak pernah kita baca, dan kita tetap bisa mendiskusikannya panjang lebar. Umberto Eco (1932), ahli sastra dan Semiotika, terkenal berkat roman thriller-nya The Name of the Rose (1980). Ia juga menulis Foucault’s Pendulum (1988), On Ugliness (2007) dan juga The Prague Cemetery (2010) yang menjadi best seller.
Alasan tidak membaca
Ada beberapa alasan untuk menyetujui ide unik Pierre Bayard tentang buku-buku yang tidak pernah dibaca, namun sering kita rujuk dalam tulisan atau wacana. Umberto Eco memberikan dua alasan. Pertama, kalau melihat jumlah buku yang diterbitkan umat manusia dalam sejarahnya, maka waktu hiduo satu orang memang tidak akan cukup untuk membaca semua terbitan tersebut.
Kedua, berkenaan dengan praktik umum pengajaran di fakultas-fakultas sastra. Saat belajar, kita diberi kuliah sejarah sastra, artinya diberi informasi mengenai berbagai buku yang tidak kita baca. Memang menjadi lucu karena akibat pelajaran itu, kadang-kadang belum apa-apa kita sudah membenci dan berjanji untuk tidak akan pernah menyentuh buku atau pengarang tertentu!
Akibat kuliah semacam itu Umberto Eco tidak pernah membaca beberapa masterpiece sastra Italia (misalnya Orlando innamorato karya Boiardo). Namun berkat bangku kuliah pula, meski tidak pernah membaca karya Aristoteles secara lengkap, Umberto Eco bisa berbicara 20 menit tentang kaitan seorang pengarang dengan Aristoteles. Dan ini tidak selalu buruk, karena memang begitulah masyarakat kita dibentuk. Guna memasuki profesi tertentu orang harus belajar, dan di universitas kita diajari oleh orang-orang yang sudah membaca buku-buku tertentu (karena untuk itulah mereka dibayar). Maka, tanpa harus membacanya sendiri, kita bisa meletakkan pengarang tertentu dalam konteks tertentu, mengartikulasikan dengan buku-buku yang tidak pernah kita baca sendiri. Hidup bermasyarakat adalah sebuah sistem di mana orang-orang membacakan buku-buku bagi kita.
Pentingnya buku yang tidak dibaca
Supaya diskusi merujuk buku yang tidak pernah dibaca makin serius, Umberto Eco bercerita jenaka tentang perpustakaan pribadinya. Ia memiliki koleksi sekitar 50 ribu buku, 30 ribu di antaranya berada di apartemennya di Milano. Dan selalu ada orang konyol yang melihat-lihat koleksi tersebut sambil bertanya polos, “Berapa buku yang telah Anda baca? Semua ini sudah dibaca?” Untuk mengatasi pertanyaan tersebut, Umberto Eco memiliki tiga macam jawaban. Yang pertama, ia meniru cara menjawab temannya yang dengan gagah menyatakan, “Oh, tentu lebih dong. Yang saya baca lebih banyak daripada ini.” Jawaban yang kedua, “Tidak, tidak ada satu pun yang sudah saya baca. Itu sebabnya buku-buku itu saya taruh di sini.” Dan jawaban ketiga, “Belum satu pun, karena buku-buku yang sudah saya baca sudah dikembalikan semua ke perpustakaan. Jadi buku-buku yang Anda lihat ini adalah bacaan untuk minggu depan.”
Meski konyol bercanda, jawaban kedua adalah serius bagi Umberto Eco. Memiliki stock buku sebagai perpustakaan pribadi tidak mengharuskan kita sudah membaca semua! Koleksi buku-buku adalah jaminan bagi ingatan. Saat kita membutuhkannya, kita tahu bahwa buku-buku ada di dekat kita. Tentu saja kadang ada rasa bersalah, rasa menyesal karena menumpuk buku-buku bagus di rumah tanpa pernah membacanya. Namun tiba-tiba suatu hari, secara iseng kita mencomot satu buku yang agak berdebu karena 30 tahun tidak pernah bergerak dari raknya. Kita yakin belum pernah membukanya. Dan saat mulai membacanya, ajaib, tanpa menyelesaikannya, mendadak kita merasa sudah mengerti seluruh isi buku tersebut! Seakan déjá vu (sudah pernah melihat) buku itu terasa akrab. Bagaimana mungkin?
Ada tiga macam teori untuk menafsirkan kejaidan itu menurut Umberto Eco. Pertama, ada mujizat, karena terjadi transisi roh buku ke dalam pikiran. Hanya dengan menumpangkan tangan pada sampul buku, seluruh isi buku terunduh memenuhi kepala kita. Atau, kedua, dalam kurun waktu 30 tahun itu sebenarnya kita pernah suatu hari membacanya, namun kita kemudian melupakannya. Atau, menurut teori ketiga, selama tiga puluh tahun terakhir kita membaca begitu banyak tulisan-tulisan yang mendiskusikan dan memperdebatkan buku tersebut sehingga tanpa membacanya sendiri kita menjadi akrab dengan isinya! Yang terakhir ini adalah cara termudah untuk menjelaskan bagaimana kita bisa mengenali isi sebuah buku tanpa pernah membacanya. Dan menurut Umberto Eco, buku yang tak pernah dibaca pun tetap penting dikoleksi di perpustakaan, karena buku itu menjadi jaminan bagi ingatan kita. Menjadi orang berpengetahuan tidak berarti harus hafal tanggal kelahiran dan kematian Napoleon Bonaparte. Kadang artinya sekedar bahwa kita mampu menemukan dengan cepat jawaban untuk berbagai pertanyaan tersebut di buku-buku yang tersimpan di perpustakaan kita.
Mengomentari pertanyaan orang yang mengunjungi perpustakaan Umberto Eco, Pierre Bayard menawarkan versi jawabannya. “Saya akan menjawab bahwa saya tidak membaca semua buku itu, namun saya hidup bersama mereka,” kata Bayard. Bagi Pierre Bayard, hidup bersama buku-buku itu penting. Kadang kita tidak membaca buku, atau mulai membacanya tetapi tidak pernah menyelesaikannya, namun kita meletakkannya di sana, hidup bersamanya, seperti memiliki seorang teman, di mana saat memerlukan kita bisa membuka dan berkonsultasi padanya. Hal seperti ini tidak diberikan sekolah yang hanya mengajari cara membaca: dari depan sampai belakang. Padahal ada banyak cara lain membaca sebuah buku.
Tidak dibaca atau lupa pernah membaca?
Pierre Bayard tidak berbicara tentang “buku yang tidak pernah dibaca” secara kaku. Ia membuat kualifikasi longgar untuk buku-buku yang “dibicarakan tanpa pernah dibaca”. Misalnya, buku yang memang tidak kita kenal sama sekali, buku yang pernah didengar dari orang lain tetapi belum dibaca sendiri, buku yang dibaca hanya beberapa halamannya dengan cepat, buku yang sudah dibaca tetapi terlupakan bahwa pernah dibaca, atau buku-buku yang sedemikian membosankan sehingga membuat kita tertidur dan tidak pernah benar-benar membacanya.
Yang penting adalah tidak membuat kategori terlalu tajam antara “buku yang dibaca” dan “buku yang tidak dibaca” karena seringkali kita juga tidak mampu memilahnya secara tegas. Pierre Bayard sendiri ragu-ragu untuk mengatakan apakah ia sudah “membaca” atau “tidak membaca” buku-buku Hegel, Lacan, atau Freud. Mungkin bertahun-tahun yang lalu ia membacanya. Fakta bahwa ingatan bisa memudar adalah kenyataan yang harus diterima. Ia menyinggung Montaigne sebagai salah satu pengarang besar yang pelupa. Montaigne melupakan semuanya, nama orang, wajah teman-temannya, dan buku-buku yang pernah ia baca. Ia bahkan lupa dengan buku-buku yang ia tulis sendiri. Kita pun sering berada dalam situasi yang sama: lupa dengan apa yang sudah kita baca.
Umberto Eco setuju bahwa kita memang bisa lupa. Mungkin kita memang sudah banyak membaca buku, namun jelas juga bahwa seringkali kita tidak mampu mengingat isi lengkap sebuah buku yang sudah dibaca. Ia mengisahkan pengalamannya sendiri yang aneh. Ketika menulis disertasi doktoral, Umberto Eco macet, benar-benar mentokkehabisan ide, dan tidak tahu bagaimana harus menyelesaikannya. Berjalan-jalan di toko buku loakan di Paris, ia menemukan buku tua dari abad ke-19, karya Vallet, seorang imam katolik ternama. Karena buku itu menyinggung tema disertasi yang sedang digarap, ia membacanya. Meski membosankan, ia ingat persis bahwa di halaman 133, yang ia garis bawahi merah, ia menemukan ide brilian yang memecahkan kebuntuannya.
Ragam Makna Membaca
Pada suatu hari, seorang temannya yang membaca The Name of the Rose, menyinggung Umberto Eco tentang penulis bernama Vallet tadi. Umberto Eco tentu senang, dan menyatakan bahwa Vallet adalah pengarang yang ia puja, karena berkat bukunya ia berhasil merampungkan disertasi doktoralnya. Teman ini kaget, karena ia pikir Vallet hanyalah nama fiktif rekaan Umberto Eco. Karena terganggu oleh komentar itu, Umberto Eco ke perpustakaan pribadinya, mencari buku Vallet, dan ia ingat persis halaman 133 yang dulu ia baca. Ketika melihat ulang teks tersebut, ia sadar bahwa apa yang ditulis oleh Vallet ternyata sama sekali lain dengan apa yang selama ini ia percaya! Pantesan temannya menuduh bahwa Umberto Eco mengada-ada tentang nama Vallet ini.
Pengalaman ini bagi Umberto Eco mengatakan bahwa kita bisa melupakan sesuatu yang pernah kita baca, atau lebih tepatnya, meski telah membacanya, apa yang dipahami dan diingat adalah sesuatu yang sama sekali lain dengan teks itu sendiri. Kata-kata yang ditulis Vallet rupanya membuat Umberto Eco terbawa ke ide-idenya sendiri yang tengah berkutat mencari jalan keluar dari kemacetan. Kata-kata tertentu dari buku Vallet memberinya inspirasi menyelesaikan disertasinya. Dan ketika membaca ulang beberapa puluh tahun kemudian, ternyata kata-kata itu sebenarnya sama sekali lain maknanya. Inilah yang kemudian sering dikatakan sebagai menggunakan (memperalat) sebuah buku. Kata-kata yang ada di buku digunakan secara bebas sesuai ide-ide kita sendiri.
Dan teknik membaca seperti itu seharusnya diperbolehkan juga. Anak-anak harus didukung bukan hanya untuk membaca, tetapi juga membaca dengan bebas dan secara kreatif menggunakan ide-ide yang ditemukan dalam buku untuk menciptakan bacaannya sendiri. Kita pun sepanjang hidup ini banyak sekali membaca buku, dan pada satu titik kita harus berani untuk mengolah sendiri apa yang kita baca. Hal terbaik bagi mahasiswa yang sedang mengerjakan tesis atau disertasi seringkali adalah berhenti membaca dan mulai menuliskan idenya sendiri.
Namun, bukan maksudnya bahwa atas nama kreativitas lalu boleh ngawur memperalat buku. Umberto Eco tetap berpendapat bahwa satu atau beberapa buku harus kita pilih untuk kita baca secara menyeluruh, dan kita tafsirkan secara setia tanpa mengkhianatinya.
Umberto Eco merasa perlu menekankan hal ini, karena kalau tidak, kita jatuh secara gampangan dalam posisi dekonstruksionis yang mengatakan bahwa kita boleh melakukan apa saja terhadap buku yang kita baca. Tentu saja kita bebas melakukan apa saja, kata Umberto Eco. Buku bisa kita baca, bisa dijadikan alas tidur, bahkan halaman buku boleh dirobek, diselipkan di antara potongan salami dan dimakan. Boleh saja. Namun toh kadang-kadang ada waktunya buku mesti dihargai dan dihormati demi dirinya sendiri. Meski kita bebas menggunakan kata-kata sebuah buku – seperti pengalaman tidak sengaja Umberto Eco sendiri -, toh itu tidak berarti boleh liar.
Pierre Bayard sepakat bahwa buku memang harus dibaca dan ditafsir dengan benar. Di Prancis ada cara membaca buku terlalu serius. Anak-anak diajar untuk merangkum isi buku dan menjawab dengan persis pertanyaan-pertanyaan tentang siapa nama tokohnya, di kota mana mereka hidup, tahun berapa, dan lain-lain. Cara membaca seperti ini mewajibkan anak-anak merekam isi buku. Padahal bagi Pierre Bayard, membaca bukanlah merekam. Cara membaca ini membuat anak-anak membenci tugas membaca. Membaca tidak harus seperti itu. Kadang-kadang kita senang dan kagum dengan buku yang kita baca, meskipun kita sama sekali tidak mampu mengingat detail isinya. Mengapa? Karena saat membacanya kita sedang penuh mimpi, imajinasi, atau berkali-kali terputus akibat gadis cantik yang wira-wiri di depan kita. Tetapi itu juga sebuah cara membaca. Dan ini tidak harus bertentangan dengan apa yang dikatakan Omberto Eco bahwa ada beberapa buku yang memang harus kita baca dari baris awal sampai akhir.Umberto Eco merasa bahwa bagaimanapun kita harus berusaha untuk menafsir sesetia mungkin mendekati isi buku itu sendiri. Memang kadang sulit membedakan dan memilah kapan “menafsir” dan kapan “menggunakan” buku. Seringkali kenyataannya kita bolak-balik di antara keduanya. Umberto Eco merasakan je me suis senti lié a un devoir de fidélité envers le texte. Cela arrive rarement, mais cella arrive, heureusement, de lire entiérement un livre (saya merasa terikat oleh kewajiban untuk setia pada teks. Meskipun jarang, tetapi toh kadang-kadang juga bahwa saya membaca dengan setia sebuah buku sampai selesai).
Teksi ini disadur secara bebas dari artikel Minh Tran Huy, “Pierre Bayard et Umberto Eco: Ce que lire veut dire,” dari Le Magazine Litéraire, Juin 2009, No. 487, hlm. 12-15 oleh Setyo Wibisono.
Artikel berbahasa Prancis ini adalah terjemahan dari teks berbahasa Inggris yang melaporkan wawancara di The New York Public Library.