Ilustrasi (Sumber gambar: jacobrcampbell.com)
  • Disiplin berasal dari gaya berpikir warisan Isaac Newton
  • Multidisplin dan interdisiplin tidak menghapus batas antar disiplin pengetahuan
  • Transdisiplin meleburkan batas-batas yang ada di antara disiplin ilmu dan sektor non-akademik

Beberapa kampus terkemuka di Indonesia belakangan ini mendengungkan istilah transdisiplin sebagai model keilmuan yang ingin mereka usung.

Boleh jadi, dalam beberapa tahun mendatang, istilah itu semakin populer diadopsi oleh kampus-kampus yang lain.

Perkaranya, penggunaan term transdisiplin kerap tidak disertai uraian pengertian yang memadai, terutama terkait pencetus, konteks, dan perbedaannya dengan tiga istilah konseptual serupa: disiplin, multidisiplin, dan interdisiplin.

Disiplin jelas merupakan kata yang diserap dari bahasa Inggris. Kamus Besar Bahasa Indonesia daring versi Kemdikbud menyantumkan tiga pengertian. Dalam konteks diskusi kita, disiplin yang dimaksud adalah “bidang studi yang memiliki objek, sistem, dan metode tertentu.”

Kemunculan disiplin-disiplin tidak dapat dilepaskan dari gaya berpikir yang diwariskan oleh Isaac Newton di abad ketujuh belas dan awal abad berikutnya. Dengan usia lebih dari tiga abad, tidak mudah menghapus jejak Newtonian Thinking.

Bila kita bertemu dengan orang yang kerap berkata, “Saya tidak punya pilihan” atau “Itu sudah nasib”, maka orang itu sejatinya sedang berpikir ala Newtonian. Sadar atau tidak.

Baca juga: Mastrena – Sejarah Mesin Kopi Starbucks

Pola pikir Newtonian menekankan pada determinisme. Tidak ada tempat bagi norma, nilai, atau tindakan dengan tujuan khusus terhadap hal-hal di sekeliling. Semua unsur sudah ada sejak awal. Dan, itu semua tidak berurusan dengan kehendak atau keagenan manusia. Perubahan-perubahan di dalam unsur-unsur di luar manusia terjadi dengan sendirinya.

Model analisis reduksi dibutuhkan untuk memahami setiap unsur yang ada. Dengan reduksi, setiap bagian dipilah dan dipahami dengan caranya masing-masing. Dari sinilah lantas muncul pembagian-pembagian disiplin ilmu, spesifikasi, dan spesialisasi.

Multidisiplin

Seiring waktu, dan didorong oleh kesadaran tentang realitas hidup yang semakin kompleks, disiplin tunggal dianggap tidak memadai lagi sebagai acuan gaya berpikir. Dengan kata lain, sulit menemukan solusi bila kita hanya mengandalkan satu disiplin.

Sejak 1920-an, para ilmuan menganggap perlu untuk keluar dari keterbatasan gaya berpikir Newtonian. Mereka mulai melirik kepada kemungkinan ekstra, kepada lebih dari satu disiplin, untuk menyelesaikan suatu persoalan. Kebutuhan pada beberapa disiplin ini disebut multidisiplin.

Interdisiplin

Pada level multidisiplin, masing-masing dari disiplin yang ada, seperti matematika dan sejarah, masih berdiri sendiri. Mereka terlibat dalam diskusi, namun tidak terhubung antara satu sama lain. Disiplin-disiplin itu seumpama para ahli yang duduk di satu meja, berdiskusi tentang suatu isu, namun tetap dengan pendirian dan gaya masing-masing.

Pada satu momen, disiplin-disiplin itu dituntut untuk berjabat tangan, saling bertukar pikiran, bahkan mungkin saling menyerap gaya, fase ini dikenal dengan interdisiplin.

Seperti yang dicatat oleh Sue L. T. Mcgregor dalam artikelnya, Transdisciplinary and Conceptual Change, interdisiplin memiliki dua orientasi. (1) meningkatkan level koordinasi dan kolaborasi di antara para ahli; dan (2) mengintergrasikan temuan dari tiap ahli meski, pada akhirnya, mereka akan tetap pada bidang masing-masing.

Yang perlu kita garisbawahi pada level ini adalah hubungan antar disiplin bersifat temporer. Singkatnya, masih ada kesadaran terhadap batasan di antara disiplin-disiplin yang saling bertukar gagasan.

Menyimak pengertian multidisiplin dan interdisiplin, di mana kasadaran pada karakteristik tiap disiplin masih terjaga, Mcgregor menyimpulkan bahwa keduanya masih merupakan warisan dari Newtonian Thinking walau telah mendapatkan modifikasi di sana-sini.

Transdisiplin

Pada 1970-an, ahli kuantum fisika dari Prancis, Basarab Nicolescu, menawarkan model berpikir yang disebut dengan transdisiplin. Berbeda dengan multi- dan inter-, transdisiplin meleburkan batas-batas yang telah dianggap mapan antar disiplin yang ada.

Trans memiliki arti bergerak di antara, di seberang, dan melampaui satu tahap ke tahap berikutnya. Kesadaran pada sekat-sekat di antara tiap disiplin diseberangi. Sebagai suatu konsep berpikir baru dalam menyelesaikan persoalan, transdisiplin berupaya untuk menyatukan semua pengetahuan, mengintegrasikan sebanyak mungkin perspektif yang tersedia, serta melibatkan sektor pendidikan tinggi dan non-akademik di dalam suatu ruang diskusi bersama.

Dengan karakteristiknya itu, Mcgregor lantas menempatkan transdisiplin sebagai suatu level berpikir yang sepenuhnya baru. Ia menyebut transdisiplin sebagai “a philosophy of the beyond, not just movement to the other side.”

Sampai di sini, apakah yang dimaksud dengan jargon “Merdeka Belajar” adalah upaya Kemendikbudristek untuk menanamkan model berpikir transdisiplin kepada para siswa dan mahasiswa? Entahlah.

Satu hal yang pasti, menggeser cara seorang dalam berpikir dan menganalisis kejadian di sekitarnya bukan perkara mudah.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here