Mesin kopi Mastrena II di kedai kopi Starbucks Magelang (Foto: pribadi)
  • Starbucks adalah perusahaan yang pertama kali memperkenalkan espreso di Amerika
  • La Marzocco adalah mesin espreso pertama yang digunakan oleh Starbucks
  • Mastrena dibuat oleh Thermoplan untuk Starbucks

Mesin kopi espreso merupakan pemandangan yang mudah kita temukan di kedai-kedai kopi. Ada beragam merek mesin kopi espreso. Kita bisa mengintip merek-merek itu berikut harganya di toko peralatan kopi, seperti Ottencoffee.

Dari sekian banyak mesin espreso yang tersedia, ada satu merek yang tidak akan kita temukan di kedai kopi pada umumnya. Merek mesin kopi itu adalah Mastrena. Bila menemukan mesin ini, percayalah, Anda sedang berada di Starbucks.

Bagaimana sejarah di balik Mastrena yang identik dengan Starbucks?

Saga Mastrena bermula pada Januari 2008 ketika Howard Schultz kembali menjabat sebagai COE di jaringan kedai kopi asal Amerika tersebut.

Starbucks kala itu mengalami kemunduran. Di mata Schultz, disorientasi adalah penyebab di balik itu. Starbucks kehilangan jati dirinya sebagai barometer cita rasa bagi para penikmat kopi.

Alih-alih fokus pada misinya untuk menyajikan segelas kopi terbaik kepada pelanggan, Starbucks justru sibuk merambah ke bisnis hiburan dengan menjual buku, CD musik, dan mensponsori film.

Puncaknya pada November 2007. Meski mencatatkan pendapatan, Starbucks dihadapkan pada banyak kendala yang membuat pendiri dan investornya muram. Jumlah pengunjung mereka mengalami penurunan. Kenyataan ini otomatis berdampak pada pendapatan perusahaan.

Dari fakta dan laporan keuangan yang tidak menggembirakan itu, dewan perusahaan lantas sepakat untuk melakukan perubahan dengan mengembalikan Schultz ke posisi CEO.

Baca juga: Perguruan Tinggi dan Civitas Academica Tidak Perlu Takut pada ChatGPT

Sebagai pendiri, Schultz tentu ingin mengulang kejayaan perusahaannya sebagai otoritas kopi yang tak terbantahkan di dunia berikut membawa serta nilai-nilai yang ada di dalamnya.

Bagi Schultz, Starbucks lebih dari sekedar sajian kopi terbaik serta uang yang berputar. Selain perkara rasa dan cuan, ia merasa perlu menampikan Starbucks sebagai panggung bagi nilai-nilai tentang komunitas, koneksi, rasa hormat, martabat, humor, kemanusiaan, dan akuntabilitas.

Demi semua tujuan itu, salah satu cara yang ditempuh oleh Schultz adalah dengan mengganti mesin kopi yang mereka gunakan. Tentu saja, alasan pertamanya adalah untuk memastikan kualitas kopi Starbucks.

Dalam buku yang merangkum pengalamannya sejak kembali sebagai COE, Onward, Schultz percaya, “Without great coffee, Starbucks had no reason to exist.” Kopi yang enak jelas bukan sekedar tentang pemilihan biji kopi terbaik, tetapi juga urusan mesin yang memproses biji-biji tersebut hingga menjadi minuman.

Starbucks adalah perusahaan yang pertama kali memperkenalkan minuman kopi jenis espreso khas Italia kepada khalayak Amerika Serikat pada awal 1980-an. Di masa perkenalan ini, Starbucks menggantungkan kualitas kopi mereka kepada mesin espreso manual bermerek La Marzocco.

Seiring dengan peningkatan jumlah pengunjung, merek Italia itu dianggap tidak lagi mumpuni untuk menyajikan level konsistensi cita rasa kopi yang sesuai dengan standar Starbucks. Mereka menginginkan kecepatan dan efisiensi. Kendala La Marzocco semakin diperparah oleh keluhan fisik para Barista.

Kehadiran La Marzocco menghiasi meja di kedai-kedai Starbucks berakhir pada 2000. Mesin Italia itu digantikan oleh Verismo 801 buatan perusahaan Swis, Thermoplan. Akan tetapi, merek yang terakhir ini hanya bertahan 8 tahun. Schultz mengganti Verismo 801 dengan alasan yang boleh jadi tergolong ganjil bagi sebagian kita. “Saya selalu frustasi pada tinggi mesin itu kala diletakkan di atas meja kedai.”

Sisi estetika itulah yang mendorong Starbucks membentuk tim kecil yang dipimpin oleh Paul Camera. Tim ini bekerja sama dengan Thermoplan untuk menciptakan mesin semi otomatis baru, efisien, sekaligus tampak elegan. Pada 2008, Mastrena diluncurkan.

Di mata Schultz, desain Mastrena tepat untuk memberikan pengalaman bagi pelanggan di dalam kedai Starbucks. Ia tampak elok dengan balutan metal dan desain ergonomis. Bagian atasnya menampilkan biji kopi segar yang siap digiling. Sedangkan di bagian dalamnya menyimpan komponen pengolah kopi yang sepenuhnya sesuai dengan standar cita rasa Starbucks. Tingginya yang pas juga memungkinkan barista dan pelanggan terhubung secara visual dan verbal.

Semua pertimbangan di balik kehadiran Mastrena di atas ternyata belum cukup. Schultz menyadari bahwa barista bukan profesi sederhana. Mereka terus berdiri selama beberapa jam, mondar-mandir, dan tanpa henti dijejali dengan menu-menu kompleks. Atas kerja berat tersebut, mereka perlu diberi kekuasaan dan kebanggaan di dalam seluruh prosesnya. Mastrena, bagi Schultz, memberikan semua keperluan itu.

Kehadiran Mastrena berlanjut hingga hari ini. Paling kurang di Indonesia, kita bisa dengan mudah melihat Mastrena II tampak mencolok di meja kedai Starbucks. Mesin itu memang tampak berbeda dengan mesin espreso pada umumnya. Semakin dekat, kita tahu bahwa mesin itu tidak dibekali portafilter.

Di meja kedai Starbucks, tidak ada pertunjukan barista yang memulai ritualnya dari aksi menggiling biji kopi. Tidak ada kerepotan distribusi kopi atau kekhusyukan barista menunggu aliran kopi dari mesin espreso. Dengan Mastrena, semua serba otomatis. Semakin sederhana, tetap elegan, dan terus cuan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here