Azyumardi Azra (Foto: tribunnews.com)

Kiranya tak ada peminat studi Islam di Tanah Air yang tidak mengenal Azyumardi Azra. Mantan rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini ibarat raksasa oleh kontribusinya dalam mempupuri wajah pendidikan tinggi Islam di Indonesia. Buku dan artikel akademiknya tesebar di dalam maupun di luar negeri. Gengsi pribadinya pun semakin menguat sebab pria berdarah Minang ini juga menyandang gelar kesatria Kerajaan Kerajaan Inggris. Bila mau, Ia berhak meminta untuk dimakamkan di negeri Kate Middleton.

Sebagai peminat studi Islam, saya mengoleksi beberapa buku dan artikel Azra. Bagi saya, tulisan-tulisannya, meski teoretis, tetap enak dibaca. Kemarin, di perpustakaan, saya bersua dengan salah satu artikelnya yang berjudul Hadrami as Educators: al-Habib Sayyid Idrus ibn Salim al-Jufri (1889-1969) and al-Khairat yang dimuat di Jurnal Kultur Volume 1, No. 1, 2000. Saat itu juga, saya langsung tertarik membaca tulisan ini bukan hanya karena penulisnya, melainkan juga temanya. Mengingat tempat tinggal saya berdekatan dengan al-Khairaat dan sering bergaul dengan para alumninya, saya merasa perlu mengetahui bagaimana profil Sayyid Idrus yang hadir lewat tangan Azra.

Paragraf demi paragraf saya lewati, hingga pada kalimat yang membuat saya terkaget. Ketika menarasikan biografi Sayyid Idrus, Azra menulis, “Sayyid Idrus al-Jufri lahir di Tarim (yang mana, sumber-sumber berbahasa Indonesia salah mengutip atau salah mengeja dengan Taris).” Teks aslinya, “Sayyid Idrus al-Jufri wa born in Tarim (which, Indonesian sources misquote or misspell as Taris).” Inilah, untuk pertama kalinya, saya membaca sebuah sumber tentang Sayyid Idrus yang menyebut bahwa tokoh pendidikan Islam di Sulawesi Tengah ini lahir di Tarim. Bukan Taris.

Kutipan tulisan Azyumardi Azra tentang Sayyid Idrus bin Salim al-Jufri di Jurnal Kultur.

Sampai di sini, sebab karena saya belum pernah menginjakkan kaki di Yaman, saya belum bisa menilai mana yang benar di antara tulisan Azra dan tulisan-tulisan yang saya baca sebelumnya yang menyebut bahwa Sayyid Idrus lahir di Taris. Sebagai jalan keluarnya, saya memutuskan untuk menghubungi dan bertanya kepada kakak tingkat saya ketika nyantri di Malang. Namanya: Fakruddin Jamal. Selain lulusan Universitas al-Ahqaf, Ia pernah bekerja di Kantor Kedutaan Indonesia di Yaman. Sudah jelas, Ia sangat tahu Yaman. Kepada saya, Ia menjelaskan bahwa Tarim dan Taris adalah dua nama untuk daerah yang berbeda. Jarak antara Tarim dan Taris terpaut 40 kilometer.

Ternyata, Azyumardi Azra yang raksasa di dunia studi Islam itu juga bisa salah. Tetapi ini bukanlah aib, mengingat di dunia akademik berlaku kaidah bahwa sarjana boleh bersalah. Yang tidak boleh adalah berdusta.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here