Piala Dunia Qatar 2022 (sumber gambar: dohanews.co)

Tidak ada organisasi di dunia sebesar Federasi Asosiasi Sepak Bola Internasional (Federation Internationale de Football Association [FIFA]). Bahkan jika dibandingkan dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Sebagai ilustrasi, FIFA mewakili aktifitas sepak bola di 211 negara. Sedangkan PBB memiliki 193 negara anggota.

FIFA didirikan di Swiss pada 1904 dengan status asosiasi nirlaba. Meski demikian, sejak pertengahan 1970-an, federasi mengalami kenaikan penghasilan. Tidak sedikit institusi yang menyoroti fakta ini akibat kurangnya transparansi dan akuntabilitas, terutama setelah penetapan Rusia dan Qatar sebagai tuan rumah ajang sepak bola paling bergengsi, Piala Dunia.

Negara-negara berkembang yang sukses terpilih sebagai tuan rumah dicurigai melakukan penyuapan. Agak sulit membayangkan negara-negara kelas berkembang dengan mudah mendapatkan hak penyelenggaraan tanpa agenda yang lebih besar dari sekedar olahraga.

Tidak dapat dipungkiri, Piala Dunia dapat dimanfaatkan oleh negara untuk kepentingan politik, prestise, dan mengais perhatian dunia. Piala Dunia kerap dianggap sebagai sarana soft power guna mendapatkan pengakuan sekaligus memperkuat hubungan dengan negara-negara lainnya. Untuk sampai pada tujuan tersebut, negara yang ingin menjadi tuan rumah Piala Dunia sangat mungkin tunduk pada kekuatan hegemoni FIFA.

Atas pertimbangan itulah, bersama dua koleganya, Marketa Marie Jerabek menganggap bahwa analisis terhadap hegemoni FIFA merupakan upaya akademik yang relevan. Mereka menuangkan hasil analisis mereka lewat artikel bertajuk “FIFA’s Hegemony: Examples from World Cup Hosting Countries” (2017).

Selain untuk menambah khazanah literatur dalam bidang hubungan internasional, bagi mereka, mendiskusikan hegemoni FIFA lewat Piala Dunia memberikan contoh tentang pergumulan antara negara dengan aktor non-negara serta perlunya reformasi internal federasi tersebut.

Tinjauan Teoretis
FIFA merupakan federasi yang memayungi sepak bola global. Dengan kekuasaannya yang begitu luas, organisasi ini memiliki kekuatan untuk melawan aturan yang berlaku di suatu negara atau melakukan intervensi kebijakan.

Besarnya kekuatan yang dimiliki oleh FIFA pernah digambarkan presidennya, Sepp Blatter. Ia mengklaim bahwa federasi ini memiliki pengaruh yang lebih besar dari negara dan agama manapun berkat ikatan emosional yang lahir dari sepak bola.

Pengaruh besar terhadap negara itulah yang mendorong Jerabek dkk. menggunakan dua kerangka teori dalam studi mereka: (1) hegemoni; dan (2) hukum transnasional dan nasional.

Hegemoni adalah istilah lama yang dapat disandarkan kepada filsuf dan politisi, seperti Thucydides, Nicollo Machiavelli, dan Antonio Gramsci. Istilah ini dipahami sebagai kemampuan satu pihak untuk membuat pihak lain melakukan sesuatu dengan cara mempengaruhi preferensi dan kepercayaannya.

FIFA merupakan hegemoni berkat kemampuannya, melalui sepak bola, mempengaruhi kebijakan dan aturan yang ditetapkan oleh pemerintah di suatu negara.

Sampai pada tahap ini, kerangka teori yang kedua kemudian berlaku. Meskipun suatu negara memiliki peraturan keolahragaan tersendiri, tatanan hukum nasional itu bisa tidak berguna, diambil alih, dan berada di bawah aturan FIFA yang bersifat transnasional.

Analisis Empiris
Untuk menguji kedua kerangka teoretik di atas, Jerabek dkk. memanfaatkan data-data kualitatif yang berasal dari sumber-sumber primer dan sekunder. Sumber-sumber mereka sangat beragam. Terdiri dari dokumen resmi dan peraturan FIFA, laporan lembaga internasional, berita internet, hingga hukum pada negara-negara yang ditunjuk sebagai tuan rumah Piala Dunia, antara lain Afrika Selatan, Brazil, Rusia, dan Qatar.

Kasus Qatar 2022
Dari empat negara yang dijadikan sebagai fokus studi kasus, penetapan Qatar sebagai tuan rumah perhelatan Piala Dunia 2022 terbilang paling menarik. Negara kecil di jazirah Arab ini memenangkan voting melawan Amerika Serikat pada 2010.

Publik terhenyak dengan penunjukan Qatar, mengingat, ketika ditetapkan, negara ini belum memiliki infrastruktur pendukung dan stadion sepakbola yang memadai bagi pagelaran sekelas Piala Dunia. Cuaca setempat yang tidak ramah bagi para pesepakbola juga ikut mendapatkan catatan dari para kritikus.

Publik lalu menuduh FIFA terlibat penyuapan dan korupsi. Penetapan Qatar ditenggarai sudah ditentukan sebelum pemungutan suara dilakukan. Tidak berhenti sampai di situ, pembangunan infrastruktur sepak bola yang dikebut oleh Qatar turut mendapat perhatian dari Human Right Watch dan Amnesty International. Negara ini dianggap melanggar hak asasi manusia para pekerjanya dan memberikan upah di bawah standar.

Apakah FIFA goyah dengan tuduhan dan penilaian di atas? Faktanya, tidak. Kekuatan hegemonik FIFA memungkinkan organisasi ini memaksakan keputusannya untuk diterima oleh asosiasi dari negara-negara anggotanya.

Hasil investigasi pengacara Amerika Serikat, Michael J. Garcia, yang menyebut ada pelanggaran korupsi pada proses penetapan tuan rumah Piala Dunia di Rusia dan Qatar juga direvisi oleh Hans-Joachim Eckert yang menjabat sebagai Ketua Dewan Arbitrase. Revisi itu menyatakan bahwa tidak ditemukan pelanggaran etik dalam proses penetapan oleh FIFA.

Dalam menyelenggarakan turnamen, FIFA tidak pernah mempertimbangkan keragaman budaya dan hukum nasional. Negara-negara yang mengajukan negosiasi sebagai penyelenggara diharuskan menyesuaikan hukum nasional mereka, tidak peduli apakah itu bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut oleh penduduk di negara yang berkepentingan.

Keuntungan ekonomi dan politik yang ikut serta di dalam turnamen FIFA memungkinkan federasi ini memiliki kekuasaan di atas negara. Dalam kasus Qatar, Komite Olimpiade negara ini secara terang-terangan menyatakan kepentingan negaranya di balik status sebagai tuan rumah Piala Dunia.

Komite tersebut mengungkapkan tiga motivasi yang melatarbelakangi kengototan Qatar, yaitu membangun kesehatan bangsa, meningkatkan relasi dengan negara-negara lain, serta menjadi pusat olahraga global.

Untuk memuluskan motivasi tadi, suka atau tidak, Qatar harus mengikuti keinginan FIFA. Pihak yang terakhir meminta negara Muslim tersebut lebih “kreatif” dan menghormati identitas LGBT yang ikut serta di dalam pertandingan. Tidak cukup sampai di situ, Qatar juga mengalah dengan mengizinkan penjualan minuman beralkohol di zona tertentu dan dikhususkan bagi para pendukung non-Muslim; sesuatu yang tadinya dilarang tanpa pengecualian di negara tersebut.

Refleksi

Melansir Tempo.co, korban yang dinyatakan wafat pada tragedi di Stadion Kanjuruhan berjumlah 135 jiwa. Akibat tragedi 1 Oktober 2022 itu, Indonesia terancam sanksi karena melanggar aturan FIFA yang melarang penggunaan gas air mata di dalam stadion.

Lima hari berselang, mantan Presiden Inter Milan yang kini menjabat Menteri BUMN, Erick Thohir, menemui Presiden FIFA di Qatar. Sebagai balasan, Presiden FIFA, Gianni Infantino, mengunjungi Indonesia pada 18 Oktober 2022. Ia disambut oleh Presiden Jokowi di Istana Merdeka.

Pada hari yang sama, Presiden FIFA juga bertemu pengurus PSSI. Pertemuan ini dilanjutkan dengan laga sepakbola persahabatan bersama Ketua PSSI, Mochammad Iriawan.

Erick Thohir bersama Mochammad Iriawan mengantar Ketua FIFA meninggalkan Indonesia keesokan harinya.

Sejauh ini, Indonesia selamat dari sanksi. Ancaman itu seolah ditelah bumi. Semua tampak hepi, kecuali keluarga korban tragedi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here