Doktor muda dari Universitas Leiden itu menjejakkan kaki di Batavia pada 1869. Usianya 24 tahun. Pemerintah kolonial menugaskannya ke Hindia Belanda berkat keahlian di bidang hukum Islam. Sembari bertugas sebagai Penasihat Ahli Gubernur Jenderal, ia menerjemahkan Minhaj al-Thalibin karya Imam al-Nawawi ke dalam bahasa Prancis. Setelah penerjemahan itu, di 1884, ia memulai proyek ambisius yang mencatatkan namanya sebagai ahli pertama dalam studi orang-orang Arab dari Hadhramawt (Hadhrami) di Nusantara. Doktor muda itu bernama Lodewijk Willem Christiaan (L.W.C.) van den Berg.
Seabad sejak van den Berg menulis Orang Arab di Nusantara, Hadhrami di perantauan luput dari perhatian para peneliti Barat. Penyatuan Yaman Utara dan Selatan ke dalam Republik Yaman di 1990 seakan menjadi motor penggerak yang menarik kembali perhatian mereka. Sejak 1995, hingga saat ini, tujuh konferensi internasional tentang Hadhrami telah diselenggarakan. Dimulai dari London, Leiden, Osaka, Kuala Lumpur, Wina, Singapura, dan Jakarta. Ratusan artikel hasil penelitian mereka terbitkan dalam waktu kurang dari tiga puluh tahun. Beragam sisi kehidupan Hadrami didiskusikan, salah satunya adalah haul pendiri Alkhairaat, Sayyid ‘Idrus bin Salim al-Jufri atau Guru Tua.
Antropolog Austria tentang Haul Guru Tua
Martin Slama adalah peneliti di Institute for Social Anthropology, Austrian Academy of Sciences. Ia tiba di Kota Palu pada September 2007. Tidak cukup, ia kembali lagi pada Juli 2008.
Sebagai antropolog, tentu saja, Slama tidak sedang berwisata. Ia datang ke Ibukota Provinsi Sulawesi Tengah untuk mendapatkan data perbandingan antara kultur Hadhrami di Jawa dan Sulawesi.
Temuan dari studi etnografinya itu ia terbitkan pada jurnal Comparative Studies of South Asia, Africa and the Middle East, Vol. 31, Nomor 2, tahun 2011. Dalam artikel yang berjudul Paths of Institutionalization, Varying Divisions, and Contested Radicalisms: Comparing Hadhrami Communities on Java and Sulawesi, salah satu yang ia bandingkan adalah haul Habib ‘Ali al-Habsyi di Solo dan haul Sayyid ‘Idrus di Kota Palu.
Bagi Slama, haul Sayyid ‘Idrus menunjukkan peran penting Alkhairaat terhadap integrasi masyarakat di wilayahnya, baik antara Hadhrami sayid dan nonsayid atau antara Hadhrami dengan masyarakat tuan rumah. Tidak seperti haul di Solo yang menuai kritik dari nonsayid karena “bikin macet”, haul di Palu mampu mengumpulkan semua latar belakang sosial dan etnis di dalam satu wadah yang sama dan setara.
Dalam pengamatan Slama, haul di Palu bersifat multifungsi. Selain untuk mengenang keulamaan Sayyid ‘Idrus, haul ini merupakan panggung bagi elit politik lokal dan nasional. Haul pendiri jaringan madrasah Alkhairaat ini juga merupakan ajang reuni bagi para alumninya. Baliho iklan dari pihak swasta, seperti bank, tampak mencolok di depan lokasi utama haul.
Isu jender mendapatkan perhatian khusus dalam artikel ini. Pada haul Sayyid ‘Idrus, Slama tidak melihat adanya pengistimewaan antara perempuan Hadhrami dan non-Hadhrami. Meski perempuan diberikan lokasi khusus yang terpisah dengan jamaah laki-laki di dalam arena haul, perempuan Hadrami dan non-Hadhrami duduk berdempetan di tempat yang sama. Fenomena serupa tidak ia temukan pada haul di Solo.
Muarikh Amerika Serikat tentang Haul Guru Tua
Tujuh tahun berselang dari artikel Slama, Kevin W. Fogg ikut menulis tentang haul Sayyid ‘Idrus di dalam artikelnya yang berjudul Reinforcing Charisma in the Bureaucratisation of Indonesian Islamic Organisations. Artikel ini terbit pada Journal of Current Southeast Asian Affairs, Vol. 37, Nomor 1, tahun 2018.
Berbeda dengan Martin Slama yang meminjam konsep jaringan transnasional milik Donald Nonini, Kevin W. Fogg menggunakan konsep birokratisasi Max Weber untuk melihat Alkhairaat. Sejarawan asal Amerika Serikat dan peneliti di Universitas Oxford ini menilai bahwa Alkhairaat memiliki pola birokratisasi yang khas, yang membedakannya dengan organisasi Islam lainnya di Indonesia.
Birokratisasi pada ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU, pada umumnya memiliki pola dari atas ke bawah. Birokratisasi ini acap kali melibatkan peran pemerintah. Ada rasionalisasi struktur dan depersonalisasi tokoh yang terjadi. Sebaliknya, birokratisasi Alkhairaat bergerak dari bawah ke atas melalui penguatan karisma personal Sayyid ‘Idrus. Penguatan karisma ini, menurut Fogg, sangat kentara di dalam perayaan haul Sayyid ‘Idrus yang rutin digelar setiap tanggal 12 Syawal.
Narasi sejarah organisasi Alkhairaat yang disampaikan setiap haul tidak dapat dipisahkan dari kisah-kisah supranatural Sayyid ‘Idrus. Sebagai contohnya, Fogg mengutip kisah dari salah seorang alumni madrasah Alkhairaat di Ternate, Gani Jumat, tetang pengalamannya mencuim bau Sayyid ‘Idrus ketika sedang belajar di kelas. Meski berjarak lebih dari separuh abad, kisah-kisah personal seperti ini terpelihara hingga menguatkan ikatan pada jajaran pengurus organisasi Alkhairaat.
Hari ini
Tahun 2020 patut dicatat oleh sejarawan Islam di Sulawesi Tengah sebagai anomali di dalam tarikh Alkhairaat. Untuk pertama kalinya, karena wabah Covid-19, organisasi yang diklaim memiliki 18 juta simpatisan ini meniadakan haul secara terbuka.
Saya masih ingat, tahun lalu, salah seorang kolega dengan berat badan di atas 120 kilogram terus bergerak sana-sini hingga malam sebelum haul guna memastikan jaminan pasokan listrik melalui genset. Hanya kepercayaan pada berkah Sayyid ‘Idrus yang membuatnya terlihat gesit. Tahun ini, ia cukup duduk sembari menatap layar ponselnya, memperingati haul yang disiarkan melalui Youtube. Ia hanyalah satu di antara ribuan orang yang melakukan hal yang sama. Dan, semoga, sama khidmatnya.
berat gini ya blognya kandidat doktor
Berat? Nggak nyampe sekilo. Thanks sudah mampir, Kak!