- ChatGPT setingkat lebih baik dari Google
- ChatGPT mengubah data menjadi informasi
- Kampus dan civitas academica tidak perlu takut pada ChatGPT
Tidak ada aplikasi yang begitu menyita perhatian komunitas akademik di tingkat perguruan tinggi hari ini seperti ChatGPT.
Kehadirannya bukan sekedar dapat memperburuk tabiat masyarakatnya berbuat plagiarisme, tetapi mengikis arti dosen dalam proses transmisi pengetahuan.
Seorang mahasiswa mungkin akan merasa cukup dengan bertanya pada ChatGPT ketimbang kepada dosennya. Mahasiswa di kelas Pengantar Filsafat, misalnya, bisa mendapatkan asupan informasi lebih banyak tentang Aristoteles ketimbang apa yang ia dapatkan dari dosen pengampu mata kuliah itu.
Apakah ChatGPT akan mendisrupsi arti lembaga pendidikan tinggi dan para pengajarnya? Jawabannya sangat bergantung pada kemampuan lembaga, berikut warganya, dalam memposisikan diri di zaman yang berubah cepat berkat teknologi artificial intelligence.
Dari Data ke Informasi
Aplikasi sejenis ChatGPT sejatinya mengubah data ke dalam format informasi. Kesimpulan ini saya dapatkan dari kanal Youtube R66Newlitics.
Dalam siniar antara Helmy Yahya, Connie Bakrie, dan Mardigu Wowiek, nama yang terakhir mengaku fall in love pada ChatGPT berkat kemampuannya mengubah data menjadi informasi.
Ketika kita melakukan pencarian di Google, mesin pencari ini akan menyajikan data dalam format daftar situs terkait. Kita masih perlu membuka satu demi satu situs tersebut, membacanya, lalu membuat kesimpulan.
Kerepotan tadi tidak terjadi ketika kita melakukan pencarian lewat ChatGPT. Cukup tuliskan apa yang ingin kita cari. Dengan kecerdasannya, ia mengambil data-data terkait yang berserak di internet, membacanya, menyusun kesimpulan, lalu menuliskan kesimpulan itu sebagai informasi yang mudah kita cerna. Semua ia lakukan dalam hitungan detik.
Belakangan, pola perubahan dari data menjadi informasi itu terlihat jelas setelah Microsoft meluncurkan Bing versi baru hasil kolaborasi mereka dengan OpenAI.
Meski serupa dengan ChatGPT, Bing menyajikan informasi namun tetap menyantumkan sumber data dari situs yang ia gunakan.
Dari Informasi ke Pengetahuan
Level transformasi dari (1) data menjadi informasi, (2) informasi ke dalam pengetahuan, hingga (3) pengetahuan ke tingkat kebijaksanaan dirumuskan oleh astrofisikawan Amerika Serikat, Neil deGrasse Tyson.
Tyson menyinggung perubahan-perubahan itu dalam cuplikan kelas virtualnya tentang Scientific Thinking and Communication.
Peran universitas sejatinya berada pada level yang kedua dalam rumusan Tyson di atas. Universitas tidak lain adalah tempat di mana informasi diubah, lewat serangkaian proses bernalar, menjadi pengetahuan.
Oleh sebab itu, alih-alih galau, civitas academica seharusnya memanfaatkan keberadaan ChatGPT untuk memudahkan kerja mereka.
Tugas civitas academica dalam pengambilan data serta pengumpulan informasi bahkan menjadi lebih efisien berkat ChatGPT.
Sekedar berbagi pengalaman, beberapa hari yang lalu, saya sempat mengalami kebuntuan ketika menulis artikel tentang sejarah intelektual.
Penyebabnya adalah karena saya belum menemukan siapa yang pertama kali mencetuskan bidang tersebut.
Iseng, saya bertanya kepada ChatGPT, “Siapa pencetus sejarah intelektual?”
Dalam skala detik, ia memberi tahu saya bahwa pencetus itu adalah Wilhelm Dilthey.
Dari ChatGPT, saya lantas beralih ke JSTOR. Di tempat terakhir, saya menemukan beragam artikel tentang Dilthey dan sejarah intelektual.
Artikel-artikel itu adalah bahan yang bisa saya olah, entah untuk menambah diskusi atau catatan kaki, bagi sesuatu yang semoga mempunyai bobot pengetahuan.
ChatGPT belum tahu apa yang sesungguhnya akan saya tulis. Ia tidak dapat menebak apa yang saya pikirkan, bagaimana saya bekerja, dan seperti apa hasil dari bahan-bahan itu sampai saya mempublikasikannya di internet.
Walakhir, andai tidak ada ChatGPT, mungkin saya masih berada di kuldesak.
Di bawah ini adalah tambahan tentang pandangan Neil deGrasse Tyson terhadap ChatGPT. Enjoy!