Saya belum pernah merasa begitu ingin tahu perihal kecanggihan situs penyedia database jurnal internasional, sampai saat ketika saya membaca tulisan Goenawan Mohamad, Promotheus, ang berpijak pada kisah seorang anak muda bernama Aaron Swartz. Ia meretas masuk ke pangkalan data JSTOR, mengunduh 4.8 juta artikel, lalu menyebarkannya untuk mereka yang membutuhkan.
Bagi penggiat di ranah siber, Swartz adalah pahlawan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kematiannya disesalkan oleh banyak orang. Ia dianggap sebagai tokoh, meski masih muda, yang memperjuangkan hak akses informasi, khususnya ilmu pengetahuan, kepada siapa saja. Sikap Swartz tergambar jelas dalam kutipan kata-katanya ini, “Memaksa para akademisi membayar untuk membaca hasil kerja kolega mereka? Memindai seluruh isi perpustakaan tetapi hanya memperkenankan yang sebangsa dengan Google yang membacanya? Menyediakan artikel-artikel ilmiah untuk mereka yang berada di universitas-universitas terdepan di Dunia Pertama, tetapi tidak bagi anak-anak di Dunia Selatan? Ini memalukan dan tidak dapat diterima Teks aslinya: “Forcing academics to pay money to read the work of their colleagues? Scanning entire libraries but only allowing the folks at Google to read them? Providing scientific articles to those at elite univesities in the First World, but not to children in the Global South? It’s outrageous and unacceptable.”
Tanggal 24 September 2010, Swartz melakukan proses pengunduhan di komputer jinjingnya yang berlabel Acer. Tentu saja, di seberang sana, JSTOR mempekerjakan ahli-ahli di bidang jaringan komputer, sehingga IP di komputer Swartz pun dapat terlacak. 6 Januari 2011, Swartz ditangkap oleh pihak aparat Amerika. Ia dinggap melanggar undang-undang lantas diancam dengan denda hingga $ 1 miliar serta kurungan 35 tahun. Diduga kuat akibat depresi, Januari 2013, Swartz memutuskan bunuh diri di usianya yang ke-26.
Berbekal hak akses yang didapatkan dari kampusnya, salah seorang teman dekat memperlihatkan kepada saya bagaimana JSTOR berkerja. Hampir seperti Google, Anda tinggal mengetikkan kata kunci, dan artikel-artikel ilmiah yang Anda cari pun tersaji. Jika kampus Anda cukup kaya dan sanggup menganggarkan banyak uang untuk membayar hak akses ke JSTOR, Anda bisa mengunduh artikel manapun yang Anda suka dalam format .pdf. Sayang sekali, di kampus tempat saya kuliah belum lagi berlangganan JSTOR, demikian juga dengan kampus di tempat saya mengajar. Padahal, sebagai pengajar, tentu saja saya berkewajiban menyajikan isu-isu ilmiah terbaru kepada para mahasiswa. Tetapi, tanpa hak akses, semua ini menjadi rumit.
Karena keterbatasan akses informasi, misalnya, seringkali saya menemukan mahasiswa Studi Hadis yang mengira bahwa bidang studi ilmu-ilmu keislaman yang satu ini tak lagi berkembang. Saya membayangkan, andai mereka memiliki akses ke JSTOR, boleh jadi mereka akan terpesona pada perdebatan antara Harald Motzki dengan P.J. Gledhill yang dipublikasikan di Jurnal Islamic Law and Society di tahun 2012 atau pada upaya Jonathan A.C. Brown menarik kembali isu kritik matan hadis ke permukaan sebagai kritisisme konten sambil melancarkan kritik kepada para pengkaji hadis di Barat yang cenderung terpaku pada analisis sanad. Tetapi, kelompok mahasiswa tadi tidak bisa disalahkan, karena guru-gurunya pun tak punya cukup akses, sehingga materi yang disajikannya cenderung monoton. Mahasiswa-mahasiswa ini memang tidak dapat dikatakan ketinggalan sepenuhnya. Mereka tahu nama-nama seperti Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, dan Juynboll, tetapi bacaan mereka tentang pemikiran ketiga tokoh ini terbatas pada sumber kedua atau ketiga yang telah terdistorsi, bukan dari sumber aslinya.
Sadar akan hakikat jurnal sebagai tempat persemaian terawal bagi hasil riset terbaru, di mana buku ilmiah seringkali merupakan kelanjutan dari artikel di jurnal, saya pun mencari tahu berapa biaya yang harus dikeluarkan sebuah institusi pendidikan atau perorangan untuk menjadi pelanggan di JSTOR. Hasilnya: tidak murah. Di JSTOR, artikel-artikel ilmiah dihargai per-paket kategori. Ada 22 paket kategori yang disediakan. Untuk berlangganan satu paket saja, misalnya Religion Discipline Package, jika tipe format yang kita pilih Electronic Only, setiap institusi harus membayar $ 1,750.50 untuk akses selama satu tahun.
Biaya tersebut belum termasuk jika institusi memilih format Full Run. Biaya yang harus dibayar bertambah nyaris hingga $ 1,000. Jika ingin tahu lebih rinci terkait harga per-paket kategori yang ditawarkan oleh JSTOR, mereka menyediakan kalkulator yang memudahkan kita menghitung besaran biaya yang harus dikeluarkan. Namun, jangan berharap semata pada kalkulator JSTOR ini. Siapkan juga kalkulator pribadi untuk menghitung konversi mata uang dolar Amerika ke kurs rupiah.
Akhirnya, ilmu pengetahuan yang seharusnya berbiaya rendah memang seringkali hanya enak didengarkan dari mulut para calon pemimpin negeri ini yang mudah mengumbar janji. Pada kenyataannya, akses ke ilmu pengetahuan memang mahal dan sengaja dibatasi oleh kelompok tertentu demi kekuasaan. Seperti kata Aaron Swartz, “Information is power. But like all power, there are those who want to keep it for themselves.”