Acara MasterChef Indonesia sesi III berakhir beberapa bulan yang lalu dengan William Gozali sebagai pemenangnya. Saat acara ini masih tayang, saya sadar: menonton acara ini di sore hari jelang berbuka puasa adalah pilihan yang menyiksa. Tetapi, toh, saya tetap melakukannya.

Nyatanya, hal-hal menyiksa tidak selalu buruk selama itu tidak merugikan orang lain. Paling tidak, dari MasterChef Indonesia sesi III itulah tulisan ini berpijak. Naam, ide tulisan ini memang tidak baru. Yang baru hanyalah saat menuliskannya. Ketika kembali ke kampus dan menemukan banyaknya keluhan mahasiswa-mahasiswa di STAIN Palu – sebentar lagi resmi beralih status menjadi IAIN Palu – terkait sulitnya melakukan penelitian dan menyusun karya ilmiah, saya pun berketetapan hati menuliskan ini.

Secara sekilas, memasak, meneliti, serta menulis karya ilmiah bisa jadi tidak mempunyai hubungan sama sekali. Tetapi, bagi saya, terutama setelah beberapa kali menonton MasterChef, memasak dan meneliti yang diikuti penulisan karya ilmiah merupakan rangkaian perkara yang bisa saling menjelaskan, karena semuanya memiliki karakter yang sama, yaitu sama-sama mengubah bahan-bahan mentah menjadi sesuatu yang lebih bernilai.

Seperti memasak yang tidak boleh sembarangan, demikian juga dengan menulis karya ilmiah. Sebagai bagian akhir yang berisi cerita tentang keseluruhan proses penelitian, menulis karya ilmiah mengetengahkan tahap-tahap memasak bahan-bahan (baca: data-data) mentah, pengetahuan-pengetahuan umum (common knowledge) yang, nantinya, diubah menjadi pengetahuan yang memiliki bobot ilmiah (scientific knowledge).

Ada empat tahapan inti yang niscaya dilalui dalam setiap kerja penelitian. Pertama, penentuan isu atau tema. Ya, saya lebih suka menyebutnya isu ketimbang obyek, mengingat era penelitian saat ini telah mengalami peralihan: dari paradigma modern yang menekankan pada relasi subyek dan obyek ke era pasca modernitas dengan relasi teks dan penafsir. Yang di maksud teks di sini bukan sekedar apa yang tertulis, yang disusun dari kalimat ke kalimat, tetapi semua bentuk realitas yang ada di sekeliling kita.

Seumpama memasak, sebelum memasak, setiap koki harus tahu tema masakan apa yang akan ia buat, seberapa penting tema masakan itu untuk penikmatnya, mengapa memilih tema itu, dan seperti apa tema masakan itu dalam karya koki-koki sebelumnya. Dari sini, paling kurang, koki yang ingin memasak masakan penutup bisa menetapkan ciri masakannya dibanding masakan-masakan penutup lainnya.

Setelah menentukan tema, tentu saja, setiap masakan membutuhkan bahan. Seperti memasak, bahan-bahan penelitian sangat bergantung pada tema yang dipilih sebelumnya. Jangan membeli ikan lele bila kau ingin memasak kaledo.

Jika bahan-bahan memasak dapat ditemukan di pasar, baik itu pasar tradisional maupun modern, maka bahan-bahan penelitian bisa ditemukan di dua tempat, yaitu di lapangan dan di perpustakaan. Lazimnya, penelitian yang cenderung mengandalkan data-data di lapangan di sebut field research, sedangkan di perpustakaan disebut library research. Tetapi, penelitian memang bukan acara MasterChef di mana bahan-bahan telah disediakan gratis oleh sponsor dan para koki yang berlomba tinggal mencomot bahan-bahan yang akan digunakan.

Di dalam penelitian, ada cara-cara khusus untuk mendapatkan data-data yang diperlukan, baik itu di lapangan ataupun diperpustakaan. Di perpustakaan, kau bisa memulai pencarian data dengan memanfaatkan katalog yang ada, membaca daftar isi, indeks buku, atau, kalau suka, kau juga bisa membaca semua buku-buku yang sekiranya bisa dijadikan bahan penelitian. Tetapi, jangan lupa, setiap penelitian mempunyai alokasi waktu. Oleh sebab itu, bijaklah dengan waktu yang tersedia. Tidak perlu membaca semua bagian buku untuk mendapatkan data, terutama jika waktumu tak banyak. Jika kau adalah mahasiswa yang terancam drop out atau pemutusan subsidi kotinu dari orang tua, sebaiknya kau sering-sering menengok jam dan kalender.

Tidak seperti di perpustakaan yang mengandalkan kecakapan membaca, di lapangan, peneliti bisa meggumpulkan data, paling kurang, dengan dua cara, yaitu survei dan wawancara. Masing-masing dari kedua cara ini terbagi lagi ke dalam beberapa model, tetapi saya tidak akan mendedahkan detil model-model survei dan wawancara itu di sini. Jika kau merasa butuh pada detil-detil survei dan wawancara, kau bisa mendapatkan penjelasan tentangnya di hampir setiap buku-buku panduan penelitian yang umumnya ditulis dalam narasi resmi, kaku, dan membosankan.

Setelah semua data penelitian terkumpul, penelitian siap masuk ke tahap ketiga, yaitu analisis data. Ini serupa dengan memasak, di mana koki dituntut cakap mengolah bahan-bahan masakan yang tersedia. Ada bahan yang harus lebih dulu dimasukkan ke dalam tempat masak dan ada pula yang harus dimasukkan belakangan. Ukuran api dan lama memasak pun harus diperhatikan. Demikian juga dengan proses penelitian. Akan tidak tepat jika data yang terkumpul hanya dijejalkan begitu saja tanpa proses analisis. Artikel ilmiah, skrpsi, tesis, maupun disertasi yang isinya hanya jejalan data-data yang didapatkan oleh peneliti di “pasar” tentu tidak layak disebut hasil penelitian dan, sebaiknya, digudangkan saja.

Ada beragam cara “memasak” data-data yang ada. Untuk data-data kepustakaan, misalnya, analisis dapat dilakukan dengan menggunakan cara-cara yang terangkum di dalam apa yang biasa disebut kualitatif. Interpretasi, sejarah, hermeneutika, dan filologi merupakan beberapa cara analisis kualitatif. Adapun bila data-data itu bersifat angka-angka atau kondisi masyarakat di lapangan, analisis yang digunakan adalah cara-cara yang terangkum dalam apa yang disebut dengan kuantitatif, di mana statistik, akuntansi, antropologi, dan sosiologi merupakan beberapa di antaranya.

Belakangan ini, akademisi yang terpengaruh oleh pemikiran filsafat pragmatisme merumuskan cara “memasak” gabungan dari cara-cara yang tersua di dalam kualitatif dan kuantitatif. Cara gabungan ini biasa diidentifikasi dengan sebutan mixed-methods. Lebih dari itu paradigma penelitian tidak lagi kaku, sebagaimana dahulu ketika lanskap pengetahuan masih didominasi oleh aliran positivisme. Kini, penelitian dengan data-data kepustakaan bisa “dimasak” dangan cara-cara kuantitatif. Disertasi Fuad Jabali yang dibukukan dengan judul Sahabat Nabi merupakan salah satu contohnya.

Pasca proses pemilihan isu, pengumpulan data, dan analisis data dilakukan, penelitian memasuki tahap terakhir, yakni penyimpulan. Kesimpulan penelitian semestinya menjawab tiap-tiap permasalahan yang ditetapkan sebelumnya, yaitu di saat proses pemilihan isu dilakukan.

Setelah keempat tahap di atas terlewati, penelitian memasuki tahap deskripsi dalam beragam bentuk, mulai dari yang ringkas berbentuk artikel, hingga yang terpanjang: disertasi. Meski deskripsi berada di luar proses penelitian, tahap ini tidak bisa dianggap sederhana, walaupun juga tidak bisa dikatakan sulit, terutama jika kau cukup terlatih menuliskan apa yang terpikir dan terjadi. Tahap ini bisa diandaikan dengan proses plating dalam kerja masak-memasak. Di acara MasterChef, plating biasanya dilakukan pada 10 menit terakhir. Mereka yang terlatih, tentu tidak membutuhkan waktu yang panjang untuk menuliskan sesuatu yang sudah terjadi. Tetapi, bagi “koki-koki” penelitian yang belum terlatih, plating penelitian jelas bukan perkara mudah.

Ketika beberapa mahasiswa bertanya perihal cara agar mudah menulis, sambil memasang gaya sok berpengalaman, saya menganjurkan kepada mereka untuk memulai tulisan itu dari sebentuk kalimat sederhana yang terdiri dari subyek dan katakerja. Jika dianggap perlu, tambahkan juga satu atau dua obyek, kata keterangan, atau kata sifat di dalamnya. Berikan titik di ujung kalimat pertama tersebut, lalu lanjutkan ke kalimat berikutnya yang masih berhubungan dengan kalimat pertama. Begitu seterusnya hingga selesai.

Untuk urusan tulis-menuliskan apa yang terjadi, kiranya kita bisa berpatokan pada anjuran Stephen King di sekitar latihan rutin serta anjuran Alif Danya Munsyi tentang pentingnya belajar menarasikan detil-detil pikiran dan kejadian. Tanpa kedua kecakapan ini, upaya menulis artikel ilmiah, skripsi, tesis, dan disertasi bisa mengakibatkan frustasi pasca proses penelitian. Dan, naam, penelitian yang tidak diikuti dengan narasi hasil dalam bentuk tulisan yang baik ibarat masakan kaledo yang disajikan di atas tempurung buah kelapa.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here