Achraf Hakimi adalah penendang terakhir dalam drama adu penalti malam itu. Di hadapan puluhan ribu penonton di Education City Stadium, Qatar, ia berdiri di dekat titik putih – berhadapan dengan bola dan gawang yang dijaga oleh Unai Simon.
Alih-alih tegang, Hakimi mengeksekusi penalti dengan dingin dan penuh percaya diri. Melihat Unai Simon bergerak ke kanan, Hakimi menendang bola ke tengah gawang dengan teknik Panenka. Gol. Timnas Spanyol harus menerima kenyataan: angkat koper. Mereka gugur di fase 16 besar oleh Timnas Maroko.
Kepercayaan diri Hakimi dalam mengeksekusi penalti ke gawang timnas dari negara kelahirannya adalah satu pemandangan menarik bagi penikmat studi diaspora. Hakimi berasal dari keluarga migran di Spanyol. Ia lahir di Madrid. Bakat sepak bolanya terasah di klub legendaris kota ini, Real Madrid.
Dengan bakat besar, Hakimi pada dasarnya dapat menjadi bagian dari Timnas Spanyol. Ia sempat bergabung beberapa hari dengan tim ini sebelum memutuskan putar haluan. “Bukan karena masalah khusus,” katanya. “Tetapi karena apa yang saya rasakan, karena itu bukan yang saya rasakan di rumah, yang mana berbudaya Arab, Maroko.”
Ayah dan ibu Achraf Hakimi, Hassan Hakimi dan Saida Mouh, bermigrasi ke Spanyol ketika mereka masih berusia 20 tahun. Hingga Januari 2022, diaspora Maroko yang bermukim di Spanyol hampir menyentuh angka sembilan ratus ribu jiwa. Angka ini meningkat pesat, mengingat arus migrasi orang-orang Maroko ke Spanyol baru dimulai pasca Perang Dunia II dan berlanjut di akhir masa kediktatoran Jenderal Franco pada 1975. Tentu saja, orang tua Hakimi merupakan bagian dari arus migrasi tersebut.

Fenomena Achraf Hakimi bagi Spanyol dapat pula terjadi untuk Indonesia. Bayangkan, suatu ketika, seorang pemain Timnas Yaman menjungkalkan Timnas Indonesia di panggung Piala Asia dalam drama adu penalti. Setelah ditelusuri, si pemain ternyata lahir dan mengasah bakatnya di Persipura Jayapura. Sejatinya, ia sempat akan bergabung dengan Timnas Indonesia. Tetapi karena alasan budaya, merasa tidak seperti di rumah, ia memilih untuk membela timnas negara leluhurnya.
Sebagai orang Indonesia, kita boleh jadi kesal dengan pemain seperti itu. Seolah-olah, ia tidak tahu berterima kasih. Perasaan seperti inilah yang sekiranya dialami oleh orang-orang Spanyol. Tak lama setelah Timnas sepak bola kebanggaan mereka terdepak dari Piala Dunia Qatar 2022, media-media Spanyol syahdan melayangkan ejekan kepada Timnas Maroko. Mereka menyebut tim asuhan Walid Regragui itu sebagai tim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), karena empat belas pemainnya tidak lahir di Maroko.
Para diaspora seperti pedang bermata dua. Achraf Hakimi adalah contoh. Ia telah menggoreskan luka bagi negara tujuan orang tuanya. Di saat yang sama, ia juga menyampaikan suka-cita bagi penduduk di tanah leluhurnya. Bagi Maroko, Hakimi dkk., adalah berkah. Kontribusi pada diaspora bagi negara asal mereka, hingga taraf tertentu, tidak bisa diremehkan. Para diaspora dapat memberikan banyak hal bagi tanah air nenek-moyang mereka, bila diberdayakan.